HADIS PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM SETIAP TINDAKAN | IAIN LANGSA



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai seorang muslim yang baik, sudah seharusnya kita mampu memahami Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an berisi banyak sekali hal atau permasalahan yang ada di dunia sekarang maupun akhirat kelak. Selain Al-Quran, hadits pun tak kalah pentingnya.
Hadits sebagai segala macam perbuatan, ucapan, dan ketetapan yang datang dari Nabi Muhammad SAW memberi kita petunjuk dan contoh nyata dalam menyelesaikan segala perkara. Salah satu diantaranya adalah tentang keikhlasan dalam seluruh tindakan dan ucapan. Segala macam kegiatan maupun ibadah tidak akan mendapatkan ridla dari Allah swt jika tidak dilaksanakan dengan niat yang baik dan hati yang ikhlas.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikhlas
Secara etimologis, ikhlas berasal dari akar kata yang berarti “menjadi bersih, murni, dan bebas dari campuran”. kata “ikhlas” adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu: وخلاصا ،خلوصا ،خلص  yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.
Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: 1. Hati yang bersih (kejujuran); 2. tulus hati (ketulusan hati) dan 3. Kerelaan. Makna ikhlas menurut syari’at, telah banyak rangkai kata yang dipilih para ulama untuk menafsirkannya. Secara istilah, ikhlas adalah usaha seseorang melakukan perbuatan semata-mata berharap ridha Allah SWT. Aktifitas yang ikhlas harus dilaksanakan hanya karena Allah SWT. Ketika seseorang yang ikhlas mengatakan sesuatu, kata-kata itu adalah benar dan sangat sesuai dengan pemahaman dan iman orang itu.
Bahkan sesungguhnya ikhlas tidak sekedar murni. Dalam beberapa ayat, al Qur’an mendeskripsikan bagaimana orang dapat dihadapkan dengan bahaya dan kemudian kembali kepada Allah, “Mensucikan agama untuk-Nya”. Lalu ketika bahaya itu berlalu, maka kembali kepada cara-cara lamanya. Ini bukan merupakan ikhlas yang sebenarnya, karena tidak terus-menerus.
Singkatnya, ikhlas merupakan pengekspresian tauhid dalam diri manusia. Ini membantu menjelaskan mengapa surat ke 112 Al-Qur’an disebut surat ikhlas dan surat tawhid. Ketika manusia menghidupkan tawhid secara utuh, maka mereka orang-orang yang ikhlas akan mensucikan agama untuk Allah semata, dan sebaliknya Allah membantu mereka dengan mensucikan dari keinginan atas segala sesuatu selain diri-Nya.

  1. Contoh Hadits yang Menjelaskan tentang Urgensi Keikhlasan dalam Seluruh Tindakan
  1. Teks Hadis
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبٍي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيهِ” رواه إماما المحدثين أبو عبدالله محمد ابن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري،  وأبو الحسين مسلم بن الحجاح بن مسلم القشيري في صحيحيهما اللذيب هما أصح الكتب المصنفة.
Artinya: Dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khaththtab ra. ia telah berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang tergantung kepada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul Nya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju.” )HR Imam Al-Bukhari (.

Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku”. Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal”. Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat”.
Ulama muhadits pun tidak kurang dari sembilan mukhrij yang mengutip hadits tentang niat ini. Imam al-Bukhari, sebagaimana dapat dilihat pada bagian sanad di atas, mencantumkan hadits ini secara berulangkali. Menurut al-Syafi’iy (150-204H), hadits ini dikutip dalam tujuh puluh bab fiqih. Menurut Ibn Daqiq al-Ied (625-702H), yang mengutip hadits ini melebihi dua ratus orang ulama.
  1. Sanad
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
Artinya: Dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khaththtab ra. ia telah berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda..
Sanad secara bahasa berasal dari kata sanad yang berarti penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain, karena didalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan.
    Sedangkan secara terminologi sanad adalah rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadis, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah. Atau bisa disimpulkan sebagai rantai penutur atau perawi hadis, mulai dari orang yang mencatat hadis dalam kitab hadis hingga Rasulullah. Dan sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain sanad adalah rentetan perawi yang sampai kepada matan hadis.
Secara etimologi, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadis adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW, dengan kata lain sanad adalah redaksi dari hadis.
Sedangkan Matan Hadis di atas adalah:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أوإِلَى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang tergantung kepada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul Nya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju.”
  1. Perawi
Rawi menurut istilah  adalah seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits.
Imamnya Ahli Hadits Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Husein Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi

  1. Takhrij Al-Hadis
Kata takhrij  ( (تخريجadalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Takhrij juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini al-muttadla diin fi syai’in wahid (berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal), al-istimbath, at-Tadrib (latihan), at-Taujih (menjelaskan duduk persoalan, pengarahan). Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan, takhrij berasal dari kata Kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaan terpisah dan kelihatan. al-Kharaja artinya menampakan dan memperlihatkannya, dan al-Makhraja artinya tempat keluar, dan Akhraja al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;
االتخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة  المراد بالدلالة على موضع الحديث, ذكر المؤلف التي يوجد فيها ذلك الحديث كقولنا مثلا: أخرجه البخاري في صحيحه إلخ.
“Menunjukkan letak Hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber-sumber yang asli di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu. Menunjukkan letak suatu Hadits berarti menunjukkan sumber-sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan “Al-Bukhari mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya”.

Dengan demikian, hadis ini terdapat dalam riwayat:
  1. Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Al-Quzwainy, Sunan Ibnu Majah, Bab (26) Aniyah, Juz 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), No. Hadis 4227, h. 1413.
  2. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Bab Kaifa Kana Bada’ al-Wahyu Ila Rasulullah, Juz 1, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407/1987), No. Hadis 1, 54, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553, h. 3.
  3. Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sajistany, Sunan Abi Daud, Bab Fima ‘Anniy bihi al-Thalaq…, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutab Al-Arabiy, tth), No. Hadis 2203, h. 230.
  4. Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman Al-Nasai, Sunan An-Nasai, Bab An-Niyat fi al-Wudhu’, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutab al-Ilmiyah, 1411/1991), No. 78.
  5. Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah Al-Syaibaniy, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bab Musnad Umar bin al-Khatthab, Juz 1, (Al-Qahirah: Muassasah Qirthabah, tth), No. Hadis 168, h. 25.
  6. Abu al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairiy al-Naisabury, Shahih Muslim, Bab (45) Qauluhu SAW Innama…, Juz 6, (Beirut: Dar al-Jail, tth), No. Hadis 5036, h. 48.

  1. Sebab Timbulnya Hadits
            Ath-Thabarani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan para perawi yang terpercaya, dari ibnu mas’ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Diantara kami ada seorang laki-laki yang meminang seorang perempuan yang bernama Ummu Qais, tetapi dia menolak untuk dinikahi hingga dia berhijrah, maka dia berhijrah dan menikahinya. Maka kami menamainya Muhajir Ummu Qais”.
  1. Makna Kata dalam Hadits (mufradat)
a.أَبِيْ حَفْصٍ  : Bermakna Al-Asad (singa), sedang Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin Khathab.
b.إِنَّمَا :  (hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin.
c.اْلأَعْمَالُ : Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
d.لنِّيَّاتِ ا : Merupakan jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak
e.امْرِئٍ : Artinya adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan
f.هِجْرَتُهُ : Secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini adalah Hijrah dari Mekkah ke Madinah.
g.إِلَى اللهِ : Maksudnya adalah menuju keridhaan Allah, baik dalam niat atupun tujuan.
h. لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا : Artinya adalah demi tujuan duniawi yang ingin dicapainya.

7. Penilaian Kualitas Hadis
Adz-Dzahaby dalam As-Siyar berkata: “Sanadnya shahih”. Dan Al-Hafizh berkata: “Sanadnya shahih di atas syarat Bukhary dan Muslim”.

C. Pemahaman Hadits
  1. Disyaratkan niat. Para ulama’ bersepakat bahwa amal yang lahir dari seorang mukallaf yang mukmin tidak dipandang memiliki nilai ibadah dan tidak akan mendapat pahala kecuali dengan niat. Al-Bahuti berpendapat, ikrar niat sebenarnya cukup dalam hati secara sir. Al-Syairazi berpendapat bahwa niat merupakan fardlu dalam segala ibadah, karena tidak sah tanpa disertainya. Tempat niat adalah hati, mengucapkannya hanya sebagai penguat. Niat itu dalam hati dan tidak  mengucapkannya adalah sah. Namun Abd al-‘Aziz bin Baz, menandaskan: Mengucapkan niat tidak ada dasarnya dalam syari’ah yang suci, tidak terdapat sumbernya dari Rasul SAW, tidak pula dari shahabat.
  2. Waktu dan tempat niat; Waktu niat adalah pada awal ibadah, seperti takbiratul ihram dalam sholat dan ihram dalam haji. Tempat niat adalah hati dan tidak perlu diucapkan, tetapi disunnahkan jika hal itu dapat membantu hati dalam menghadirkannya.
  3. Hadits ini memberi pengertian bahwa barangsiapa yang berniat untuk beramal shaleh, lalu ada halangan yang tidak bisa dielakkan, sperti sakit, atau meninggal, atau yang lainnya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala.
  4. Hadits ini mengajarkan untuk berbuat ikhlas dalam beramal dan ibadah supaya mendapat pahala di akhirat, serta taufik dan keburuntungan didunia.
  5. Setiap amal yang baik dan bermanfaat jika disertai dengan keikhlasan dan mengharap ridha Allah, maka ia akan bernilai ibadah.

D.  Analisa Hadits
Hadits ini termasuk hadits yang penting, yang merupakan pusat peredaran agama islam. Ia merupakan pokok dalam agama dan kepadanya bermuara seluruh hukum syari’at. Hal ini akan menjadi jelas dengan ucapan para ulama’. Abu Dawud berkata, “Hadits ini (Sesungguhnya amal tergantung kepada niat) setengan islam. Karena agama itu terbagi kepada yang tampak, yaitu amal, dan yang batin yaitu niat. Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan sepertiga ilmu. Sebab, seorang hamba itu akan mendapat pahala berkat perbuatan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat dilakukan dengan hati yang merupakan salah satu dari ketiganya. Manfaat disebutkan hadits ini diawal kitab adalah untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan niatnya dengan hanya mencari keridhaan Allah dalam menuntut ilmu dan mengamalkan kebaikan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman-Nya: “Mereka tidaklah diperintah kecuali supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas dalam beragama lurus, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus”.
Sebagian ulama menyatakan, “Niat itu bertingkat-tingkat. Bertingkat-tingkatnya ganjaran dilihat dari niatnya, bukan dilihat dari puasa atau shalatnya”.
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama”.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
  1. Pengertian ikhlas secara etimologis, ikhlas berasal dari akar kata yang berarti “menjadi bersih, murni, dan bebas dari campuran”. Secara istilah, ikhlas adalah usaha seseorang melakukan perbuatan semata-mata berharap ridha Allah swt. Aktifitas yang ikhlas harus dilaksanakan hanya karena Allah swt.
  2. Contoh Hadits yang Menjelaskan tentang Urgensi Keikhlasan dalam Seluruh Tindakan dan Ucapan
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبٍي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيهِ ” رواه إماما المحدثين أبو عبدالله محمد ابن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري،  وأبو الحسين مسلم بن الحجاح بن مسلم القشيري في صحيحيهما اللذيب هما أصح الكتب المصنفة.
Artinya: Dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khaththtab Radhiyaallahu ‘anhu ia telah berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang tergantung kepada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul Nya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya atau menuju wanita yang akan dinikahinya, ia akan mendapatkan apa yang dituju.” )HR. Imam Al-Bukhari).

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Aziz bin Abd Allah bin Baz, Tuhfat al-Ihwan, tth.

Abdurrahman, Mifdhol, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Adz-Dzahabi, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Ustman, Nuzahatul Fudhala’ Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala, penerjemah, A. Luthfi Said Abadi, Ringkasan Siyar An-Nubala, juz 10, Jakarta: Pustaka Azam, 2008.
Al-Bugha, Musthafa, Al-Wafi Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2013.

Al-Bukhari, Imamnya Ahli Hadits Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah, Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Al-Hambali, Ibnu Rajab, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Cet. 10, Juz. 1, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1432H.

Al-Harrani, Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah, Majmu’ah Al-Fatawa, Cet. Ke-4, Juz 18, Penerbit Dar Al-Wafa’, 1432 H.

Ali, Nizar, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, Jakarta, 2008.

Al-Id, Ibn Daqiq, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah, Beirut: Dar Al-Fikr, tth.

Al-Mulaqqin, Ibnu, I'lam bi Fawaid 'Umdah al-Ahkâm, Juz 1, Beirut: Dar al-'Ashimah, tth.

Al-Muthi'y, Muhammad Najib, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab li al-Syairazi, Juz ke-1, Jeddah: Maktabatu al-Irsyad, tth.

Al-Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali ibn Yusuf al-Fayruz Abadi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’iy, Juz I.

At-Tahhan, Mahmud, Usul al-Takhrij Wa Dirasat al-Isanid, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1978.

Khozin, Ahmad Abdul, Pengantar Ulumul Hadits, Cirebon, 2011.

Munawir dan Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
 
Murata, Sachiko, The Vision Of Islam, Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Muslich Shabir, Terjemah Riyadlus Shalihin I, Semarang: Toha Putra, 1981.

Nawawi, Imam, Sahih Muslim Bisyarhi an-Nawawi, Juz 13, Beirut: Dar al-Kutub Alilmiyah, tth.

Solahudin, M. Agus dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis, Bandung, 2008.

Suryadilaga, M. Alfatih dkk, Ulumul Hadist, Jogjakarta: Teras, Maret 2010.

Tim Penyusun, Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 19

Komentar

Postingan Populer